Kala itu, hari senin..
CYAAAAARR...
Entah apa yang diperbuat adikku, batinku langsung merasa hampar, dan ternyata benar, satu barang lagi pecah, dan lagi-lagi benar..
Pagi itu sunyinya embun pecah oleh suara geram ibu..
"itu yang naruh di bawah siapa, itu salahnya ditaruh dibawah, itu ibu udah naruh di atas, masih aja dipindah di bawah, bla bla bla.."
Tak sanggup lagi ku dengar, sungguh, masih ada sederet kalimat yang dilontarkan berkali-kali, dengan nada tak lagi tinggi, namun melambung. syukurnya kini hanya suara, tidak lagi tangan atau-pun sapu yang melambung.
Mungkin batinnya, suaranya, hingga ubun-ubunya pun tak pernah memaafkanku, siapa yang memecahkan, siapa yang disalahkan, lengkap sudah aku menjadi sasaran hangat di pagi hari...
Bukan tangan, sapu, atau benda apa yang melambung pada ku, mungkin kini aku lebih merindukan semuanya, dibanding suara ibu yang terlampau tinggi terlampau sakit. Bagaimana bila tak sengaja terlontar
"anak durhaka qm"
Tak sanggup ku bayangkan, lagi-lagi aku memalukan, ingin rasanya ku ulang masa kecil, di mana aku tak tau jalan kembali ke rumah, mengapa tak lari saja aku, mengapa tak pergi saja aku. Seketika bayangan kecil yang berdiri di pojok, menangis sembari memegangi paha, bayangan kecil yang menangis di kamar mandi dengan suara yang hampir tak bisa keluar, bayangan yang berteriak meminta ampunan. mengapa dulu ku tak lari saja dari semua masalah, aku pun tersadar dan saatnya kembali pada realitas, menjemput mimpiku yang lain, dengan pipi, mata, dan jilbab yang masih sembab dan tak lagi basah, namun banjir...
bismillah, semoga yang ini lancar..
Kala itu, hari senin..
Sudah ku persiapkan segalanya, berharap tak ada lagi coretan di lembar putih yang ku bawa, berharap itu adalah pertemuan terakhir. Harap dan berdoa, tak lupa ayat kursi dan doa diberi kemudaahan.
Nyatanya, aku justru banjir hujatan dan lagi-lagi makian...
Mencoba menahan butiran-butiran di ujung mata agar tak jatuh di depanya, berusaha tersenyum dan menundukkan kepala tanda paham.
Saat semua kesalnya tertumpahkan, pergiku pun menjauh, mengucap salam, menutup pintu, dan aku pun sibuk dengan butiran di ujung mata yang tumpah membanjiri pipi, bibir, jilbab, dan kertas-kertas putih itu,
Seninku, 22 Juni 2015.
foolish~
CYAAAAARR...
Entah apa yang diperbuat adikku, batinku langsung merasa hampar, dan ternyata benar, satu barang lagi pecah, dan lagi-lagi benar..
Pagi itu sunyinya embun pecah oleh suara geram ibu..
"itu yang naruh di bawah siapa, itu salahnya ditaruh dibawah, itu ibu udah naruh di atas, masih aja dipindah di bawah, bla bla bla.."
Tak sanggup lagi ku dengar, sungguh, masih ada sederet kalimat yang dilontarkan berkali-kali, dengan nada tak lagi tinggi, namun melambung. syukurnya kini hanya suara, tidak lagi tangan atau-pun sapu yang melambung.
Mungkin batinnya, suaranya, hingga ubun-ubunya pun tak pernah memaafkanku, siapa yang memecahkan, siapa yang disalahkan, lengkap sudah aku menjadi sasaran hangat di pagi hari...
Bukan tangan, sapu, atau benda apa yang melambung pada ku, mungkin kini aku lebih merindukan semuanya, dibanding suara ibu yang terlampau tinggi terlampau sakit. Bagaimana bila tak sengaja terlontar
"anak durhaka qm"
Tak sanggup ku bayangkan, lagi-lagi aku memalukan, ingin rasanya ku ulang masa kecil, di mana aku tak tau jalan kembali ke rumah, mengapa tak lari saja aku, mengapa tak pergi saja aku. Seketika bayangan kecil yang berdiri di pojok, menangis sembari memegangi paha, bayangan kecil yang menangis di kamar mandi dengan suara yang hampir tak bisa keluar, bayangan yang berteriak meminta ampunan. mengapa dulu ku tak lari saja dari semua masalah, aku pun tersadar dan saatnya kembali pada realitas, menjemput mimpiku yang lain, dengan pipi, mata, dan jilbab yang masih sembab dan tak lagi basah, namun banjir...
bismillah, semoga yang ini lancar..
Kala itu, hari senin..
Sudah ku persiapkan segalanya, berharap tak ada lagi coretan di lembar putih yang ku bawa, berharap itu adalah pertemuan terakhir. Harap dan berdoa, tak lupa ayat kursi dan doa diberi kemudaahan.
Nyatanya, aku justru banjir hujatan dan lagi-lagi makian...
Mencoba menahan butiran-butiran di ujung mata agar tak jatuh di depanya, berusaha tersenyum dan menundukkan kepala tanda paham.
Saat semua kesalnya tertumpahkan, pergiku pun menjauh, mengucap salam, menutup pintu, dan aku pun sibuk dengan butiran di ujung mata yang tumpah membanjiri pipi, bibir, jilbab, dan kertas-kertas putih itu,
Seninku, 22 Juni 2015.
foolish~