Senin, 23 Januari 2017

Si ingus bening belajar (( lagi))

Dia berharap bahwa darinya keluarlah anak-anak cerdas yang akan memajukkan bangsa, dikenal luas, dan bermanfaat.

Dia berharap bahwa dari dekapannya, akan tumbuh anak-anak penyayang yang mencintai umat, menyayangi makhluk, sabar, lagi baik hati dan perilakunya.

Dia berselancar di layar datang, dan meneguhkan hati untuk belajar (lagi). Dia tak jarang bercengkrama sendiri, bagaimana nanti bila tidak di sana, bagaimana nanti bila harus di sarang tempat asalnya. Kemauannya kuat, dan tekatnya dibantu doa, berlari2 mengejar roda besi, berdesak-desakkan menaiki kotak panjang. Setiap hari mungkin nantinya, tak apa, ibadah insyaAllah.
Si ingus bening kuliah lagi, di universitas tertua. Ya walaupun dengan biaya ibu bapakkya.

Selasa, 17 Januari 2017

Si Ingus Bening -Permen Mahal-

Dia terbaring membayangkan dirinya dulu.

Anak kecil yang sedari balita sudah melalang buana dari tangan ke tangan, rumah ke rumah.
Tak lagi harus keluar, dia sudah dapat bermain sendiri, dan saat dia keluar, wajahnya merah, matanya membesar,
“itu apa?” “Ini enak?” “Itu beli di mana?”
Berhari-hari dia bermimpi akan benda merah berbalut plastic, berbentuk bulat, manis!
Berhari-hari dia meronta meminta receh pada ibu Negara, tapi nihil, dia menyesal meminta hingga kering tenggorokan.

Kembali lagi saat gadis itu teringat, sungguh saat yang merana, membeli permen-pun harus berkering air mata. Sekarang bahkan tak hanya permen, ciki, taro, coklat, dan aneka jajanan impian masa itu dapat dibeli dengan mudah.

“Ahhhaaa!”
Seperti mendapat berlian berkarung-karung, dia mendapatkan uang receh dari bawah lemari, entah berapa permen yang dapat dibeli, aatau mungkin recehnya tidak cukup, tapi itu sangat membahagiakan.
Keluar rumah dengan lincah, menaiki sepeda hasil kloningan dari berbagai macam sepeda, dan “GUBRAK”
Dahi gadis kecil itu berlumur darah, recehnya entah berlari ke mana, lepas dari genggamannya. Dia selalu kuat, gadis itu tidak menangis, mengusap darahnya, menaruh sepeda, kembali ke rumah, membersihkan darah di dahinya, kembali ke bilik surganya, terbaring, dan ingus beningnya keluar. Saatnya.

Dan hingga kini, dia selalu ingat bulan sabit di dahinya dulu karena stang sepeda.

Minggu, 01 Januari 2017

si ingus bening

Beribu harap, anak dengan kaus merah itu berminpi jutaan permen di tangannya. 

Sang ibu yang sibuk membaca kebutuhan pun tak memperhatikan, yang dia tuju hanya tissue, sabun, susu, dan gula, bahkan untuk pelumas pipi-pun dia lupa. Kebutuhan rumah dulu, nafasnya berat. 
Ingin segera lari dari kesibukan yang ada, kebutuhan yang diperlukan sudah berpindah ke keranjang belanja, saatnya berhitung dan keluar, 

Tidak dengan anak dengan kaus merah, dua menunggu giliran untuk list permen nya terpenuhi, tapi nihil. Tangannya digeret paksa dan jutaan permen impiannya hancur dengan gempitanya. 
Si ibu antara memberi dan ingin menasehati. Anak kaus merah tak mau beranjak, hingga ingus bening keluar tak tertahan, masih ingin mengukir sejuta permen impian. 

Si ibu dengan bijak merangkul, membisikkan, 
Akhirnya dengan jutaan ingus bening yang keluar, anak kaus merah itu merelakan jutaan permen impian.